Pasang Iklan di Sini

Rabu, 01 Juni 2011

makalah hadits

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman kalsik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya[1]. Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an diturunkan. Bertolak dari kenyataan ini, Prof. A. Mukti Ali menyebutkan sebagai metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, temapat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
    1. mengetahui definisi ilmu hadits
    2. mengetahui cabang-cabang ilmu hadits serta penjelasannya
    3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits
    4. mengetahui otentitas hadits
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
    1. Apa definisi ilmu hadits?
    2. Apa saja cabang-cabang ilmu hadits itu?
    3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits
    4. bagaimana otentitas hadits Nabi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN Ilmu Talfiqil hadits
Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits yang berlawanan lahirnya.
Dikumpulkan itu ada kalanya dengan mentahsikhkan yang ‘amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyak kali terjadi.
Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
Artinya: “Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. “
Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yangterjadi.
ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
a. Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
b. Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Yaitu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.
Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits dalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.[2]
Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini.Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.
c. Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits
Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan ta’wil hadits yang musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf Al-Hadits” atau “Musykil Al-Hadits”, atau semisal dengan itu. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih[3].
B. KEGUNAAN MEMPELAJARI ILMU HADITS
Adapun beberapa manfaat / kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits adalah:

Hadits Nasikh Dan Mansukh

Definisi
Naskh menurut bahasa mempunyai dua makna, yaitu : menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain.
Sedangkan menurut istilah, naskh adalah “pengangkatan yang dilakukan oleh Penetap Syari’at terhadap suatu hukum yang datang terdahulu dengan hukum yang datang kemudian”.
Bagaimana Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh ?
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dengan salah satu dari beberapa hal berikut :
1. Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau :
”Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian, karena hal itu dapat mengingatkan akhirat” (HR. Muslim).
2. Perkataan shahabat.
3. Mengetahui sejarah, seperti hadits Syaddad bin ‘Aus :
”Orang yang membekam dan yang dibekam batal puasanya” (HR. Abu Dawud); dinasakh oleh hadits Ibnu ‘Abbas :
”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbekam sedangkan beliau sedang ihram dan berpuasa” (HR.Muslim).
Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi Fathu Makkah; sedangkan Ibnu ‘Abbas menemani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan ihram pada saat haji wadai tahun 10 hijriyah.
4. Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi :
Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Imam Nawawi berkata,”Ijma’ ulama menunjukkan adanya naskh terhadap hadits ini”. Dan ijma’ tidak bisa dinasakh dan tidak bisa menasakh, akan tetapi menunjukkan adanya nasikh.

Pentingnya Ilmu Nasikh dan Mansukh Hadits
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan suatu keharusan bagi siapa saja yang ingin mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin dapat menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu tersebut dan menganggapnya sebagai satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits.
Mereka mendefinisikannya sebagai berikut : “Ilmu nasikh dan mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukumi sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dahulu disebut mansukh, dan hadits yang datang kemudian menjadi nasikh”.
Karya-Karya yang Disusun Tentang Nasikh dan Mansukh
Sebagian ulama menyusun buku tentang nasikh dan mansukh dalam hadits, diantaranya :
1. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
2. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
3. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad.
4. Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
5. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.

Ilmu Rijaalul-Hadiits

Sebelum masuk ke pembahasan utama, perlu diketahui apa itu ilmu hadits dirayah. Ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang diketahuinya hakikat riwayat, syarat-syaratnya, hukum-hukumnya, keadaan perawi dan syarat-syarat mereka, maacam-macam apa yang diriwayatkan dan, apa yang berkaitan dengannya.  Atau secara ringkas : “Kaidah-kaidah yang diketahui dengannya keadaan perawidan yang diriwayatkan”.  Dan perawi adalah orang yang meriwayatkan hadits dari orang yang ia mengambil darinya. Adapun marwiy adalah hadits yang disampaikan dengan cara periwayatan, dan yang diriwayatkan ini secara istilah dinamakan dengan matan. Adapun orang-orang yang meriwayatkannya dinamakan dengan perawi atau Rijal Al-Isnad.
Maka apabila Imam Bukhari berkata misalnya,”Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi, dia telah berkata : Telah menceritakan kepadakami bapakku, dia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Burdah bin Andillah bin Abi Burdah, dari Abi Burdah, dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, dia berkata,”(Para shahabat) bertanya : ‘Wahai Rasulullah, Islam apakah yang paling utama?’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya”.
Orang-orang yang telah disebutkan Imam Bukhari ini – mulai dari Sa’id bin Yahya bin Sa’id Al-Quraisyi sampai yang paling terakhir yaitu Abu Musa – mereka ini disebut periwayat hadits. Dan rangkaian mereka disebut sanad, atau rijalul-hadits.  Sedangkan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam :”Barangsiapa yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya” adalah yang diriwayatkan atau hadits; dinamakan matan. Dan orang yang meriwayatkan hadits dengan smua rijalnya yang disebutkan tadi disebut musnid. Sedangkan perbuatannya ini dinamakan isnad (penyandaran periwayatan).
Dari penjelasan di atas dapat kita kenal istilah-istilah yang sering dipakai sebagai berikut :
As-Sanad, dalam bahasa artinya menjadikannya sandaran atau penopang yang dia menyandarkan kepadanya.
-  Sanad dalam istilah para ahli hadits yaitu : “jalan yang menghubungkan kepada matan”, atau “susunan para perawi yang menghubungkan ke matan”. Dinamakan sanad karena para huffadh bergantung kepadanya dalam penshahihan hadits dan pendla’ifannya.
Al-Isnad adalah mengangkat hadits kepada yang mengatakannya. Ibnu Hajar mendefiniskannya dengan : “menyebutkan jalan matan”. Disebut juga : Rangkaian para rijaalul-hadiits yang menghubungkan ke matan. Dengan demikian maknanya menjadi sama dengan sanad.
Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.
Matan menurut bahasa adalah “apa yang keras dan meninggi dari permukaan bumi”.
Matan menurut para ahli hadits adalah perkataan yang terakhir pada penghujung sanad. Dinamakan matan karena seorang musnid menguatkannya dengan sanad dan mengangkatnya kepada yang mengatakannya, atau karena seorang musnid menguatkan sebuah hadits dengan sanadnya. Tadriibur-Raawi halaman 5-6 dan Nudhatun-Nadhar halaman 19).
-  Ilmu Rijaalul-Hadiits, dinamakan juga dengan Ilmu Tarikh Ar-Ruwwat (Ilmu Sejarah Perawi) adalah ilmu yang diketahui dengannya keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

ILMU RIJAALUL-HADIITS(2)
Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka. Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah mengatakan : ”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Maka dengan ilmu Tarikh Rijaalil-Hadiits ini akan sangat membantu untuk mengetahui derajat hadits dan sanad (apakah sanadnya muttashil atau munqathi’ ).
Dari Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Isa Ath-Thalaqani dia berkata,”Aku telah berkata kepada Abdullah bin Al-Mubarak : Wahai Abu Abdirrahman, hadits yang menyebutkan : Sesungguhnya termasuk kebaikan hendaknya engkau mendoakan untuk kedua orang tuamu bersama doamu, dan engkau berpuasa untuk mereka berdua bersamaan dengan puasamu”, Maka Abdullah (bin Al-Mubarak) berkata,”Wahai Abu Ishaq, dari siapakah hadits ini?”. Maka aku katakan : “Ini dari Syihab bin Khurasy”. Maka dia berkata,”Dia itu tsiqah, lalu dari siapa?”. Aku katakan,”Dari Al-Hajjaj bin Dinar”. Ia punberkata,”Dia pun tsiqah. Lalu dari siapa?”. Aku katakan,”Dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda….”. Dia (Abdullahbin Al-Mubarak) berkata : “Wahai Abu Ishaq, sesungguhnya antara Al-Hajjaj bin Dinar dan Bai shallallaahu ‘alaihi wasallam terdapat jarak yang sangat jauh. Akan tetapi tidak ada perselisihan dalam masalah keutamaan sedekah”.
Demikianlah keistimewaan umat kita dan kaum muslimin. Ibnu Hazm berkata,”Riwayat orang yang tsiqah dari orangtsiqah yang sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam secara bersambung merupakan kekhususan kaum muslimin yang tidak dimiliki oleh semua agama”.
Dan Tarikh Ar-Rijal (sejaran para perawi) adalah yang membuka kedok para perawi pendusta. Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Ketika menghadapi para perawi berdusta, maka kita menggunakan ilmu tarikh untuk menghadapi mereka”.
Dari Hafsh bin Ghiyats bahwasannya dia berkata,”Apabila kalian mencurigai atau menuduh seorang Syaikh, maka hitunglah dia dengan tahun ( = maksudnya : gunakanlah ilmu tarikh). Yaitu hitunhlah oleh kalian umurnya dan umur orang yang mneulis darinya”.
Telah meriwayatkan ‘Ufair bin Mi’dan dan Al-Kula’i, dia berkata,”Datang kepada kami Umar bin Musa di Himsh, lalu kami bergabung kepadanya di dalam masjid, kemudian dia berkata : “Telah menceritakan kepada kami Syaikh kalian yang shalih”. Aku katakan kepadanya,”Siapakah Syaikh kami yang shalih ini, sebutkanlah namanya supaya kami mengenalnya!”. Lalu dia menjawab,”Khalid bin Mi’dan”. Aku tanyakan kepadanya,”Tahun berapa engkau bertemu dengannya?”. “Aku bertemu dengannya tahun 108”,jawabnya. “Dimana negkau menemuinya?”,tanyaku. “Dalam peperangan Armenia”,jawabnya. Maka aku katakan kepadanya,”Takutlah kepada Allah, wahai Syaikh!! Jangan engkau berdusta, Khalid bin Mi’dan meninggal pada tahun 104, lalu negkau mengatakan bertemu dengannya 4 tahun setelah kematiannya?. Dan aku tambahkan lagi kepadamu, dia tidak pernah ikut perang di Armenia, dia hanya ikut memerangi Romawi”.
Dari Al-Hakim bin Abdillah dia berkata,”Ketika datang kepada kami Abu Ja’far Muhammad bin Abdillah Al-Kusysyi dan menceritakan hadits dari Abd bin Humaid, aku menanyakan kepadanya tentang kelahirannya, lalu dia menyebutkan bahwasannya dia dilahirkan pada tahun 260. Maka aku katakan kepada para murid kami,”Syaikh ini telah mendengar dari ‘Abd bin Humaid 13 tahun setekah kematiannya”.

Contoh seperti ini sudah banyak terkumpul dan dibukukan oleh para ulama dalam kitab-kitab karya mereka. Danberbagai macam buku karya tentang hal itu banyak bermunculan dengan berbagai tujuan.
ILMU RIJAALUL-HADIITS (3)
Kitab-Kitab tentang Nama-Nama Shahabat Secara Khusus
Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari kata Ash-Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak.
Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun.
Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,”Barangsiapa yang pernah menemani Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari shahabat-shahabat beliau”.
Ibnu Ash-Shalah berkata,”Telah sampai kepada kami dari Abul-Mudlaffir As-Sam’ani Al-Marwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasalla, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya”.
Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi’in Sa’id bin Al-Musayyib perkataan : “Dapat dianggap sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan”. Ini yang dihikayatkan para ulama ushul-fiqh. Akan tetap Al-‘Iraqi membantahnya,”Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau, termasuk ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil dan belum pernah duduk bersamanya”.
Ibnu Hajar berkata,”Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan orangyang pernah melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam walaupun sekali dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta” (Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah halaman 263, Al-ba’itsul-Hatsits halaman 179, Al-Ishabah 1/4, Fathul-Mughits 4/29. dan Tadriibur-Rawi halaman 396).
ILMU RIJAALUL-HADIITS (4)
Cara Mengetahui Shahabat
1.  Diketahui keadaan seseorang sebagai shahabat secara mutawatir.
2.  Dengan ketenaran, meskipun belum sampai batasan mutawatir.
3.  Riwayat dari seorang shahabat bahwa dia adalah shahabat.
4.  Atau dengan mengkhabarkan dirinya bahwa dia adalah seorang shahabat.
Dan diperselisihkan mengenai siapa yang pertama kali masuk Islam dari kalangan shahabat. Ada yang mengatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada juga yang mengatakan : Ali bin Abi Thalib. Pendapat lain : Zaid bin Haritsah. Pendapat lain mengatakan : Khadijah binti Khuwailid. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa Khadijah adalah orangyang pertama membenarkan pengutusan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam secara mutlak.
Ke-’adalah-an Shahabat
Menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, semua shahabat itu adalah ’adil, karena Allah ta’ala telah memuji mereka dalam Al-Qur’an; dan As-Sunnah pun juga telah memuji akhlaq dan perbuatan mereka, serta pengorbanan mereka kepada rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam baik harta dan jiwa mereka; hanya karena ingin mendapatkan balasan dan pahala dari Allah ta’ala.
Adapun pertikaian yang terjadi sesudah beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam, ada diantaranya yang terjadi karena tidak disengaja seperti Perang Jamal. Dan ada pula yang terjadi karena ijtihad mereka seperti Perang Shiffin. Ijtihad bisa salah, bisa pula benar. Jika salah dimaafkan dan tetap mendapatkan pahala, dan jika benar maka akan mendapatkan dua pahala.
Dan di antara shahabat yang banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah Abu Hurairah, Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Anas bin Malik, ‘Aisyah Ummul-Mukminin, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah Al-Anshari, dan Abu Sa’id Al-Khudry (Sa’ad bin Malik bin Sinan Al-Anshary).
Dan di antara mereka ada yang sedikit meriwayatkan, atau tidak meriwayatkan sedikitpun.
Shahabat yang paling terakhir meninggal adalah Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah Al-Laitsi, meinggal pada tahun 11 Hijriyyah di Makkah.
Kitab-Kitab Terkenal Mengenai Shahabat
a.  Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
b.  Kitab Tarikh Ash-Shahabah, karya Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 245 H). Kitab ini juga tidak sampai kepada kita.
c.  Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
d.  Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
e.  Tajrid Asmaa’ Ash-Shahabah, karya Al-Hafidh Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), telah dicetak di India.
f.  Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H). Dan dia adalah orang yang paling banyak melalukan pengumpulan dan penulisan. Jumlah kumpulan biografi yang terdapat dalam Al-Ishaabah adalah 122.798, termasuk dengan pengulangan, karena ada perbedaan pada nama shahabat atau ketenarannya dengan kunyah-nya, gelar, atau semacamnya; dan termasuk pula mereka yang disebut shahabat, namun ternyata bukan.

ILMU RIJAALUL-HADIITS (5)
Penyusunan Kitab Berdasarkan Thabaqat (Generasi)
Di antara penyusun kitab Tarikh Ar-Ruwat, ada yang menyusunnya berdasarkan tingkat generasi, yang meliputi shahabat, tabi’In, tabi’ut tabi’in, dan orang yang mengikuti mereka pada tiap generasi. Thabaqat adalah sekelompok perawi yang hidup dalam satu masa. Buku tersebut terkadang mencakupi perawi hadits secara umum dalam setiap thabaqat tanpa terikat pada tempat tertentu, dan terkadang pula hanya para perawi yang hidup dalam satu negeri.
Karya terkenal dalam metode thabaqat ini adalah :
a.  Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.
b.  Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
c.  Kitab Thabaqat Ar-Ruwat, karya Khalifah bin Khayyath (wafat tahun 240 H).Ibnu Hajar mengambil darinya, dan terdapat manuskripnya hingga kini.
d.  Kitab Ath-Thabaqaat, karya Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi (wafat tahun 261 H) dan tedapat manuskripnya hingga kini.
e.  Kitab Ath-Thabaqat, karya Abu Bakar Ahmad  bin Andillah Al-Barqi (wafat tahun 270 H), mengambil darinya Ibnu Hajar dalam Tahdzib Al-tahdzib.
f.  Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H).
g.  Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin bi Ashbahan wal Wariidina ‘Alaiha, karya Abu Syaikh bin Hayyan Al-Anshary (wafat tahun 369 H) dan terdapat manuskripnya hingga kini.
h.  Kitab Thabaqaat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Abdurrahman bin Mandah (wafat tahun 470 H).
Banyak karya yang sudah hilang, dan yang sampai ke tangan kita hanya sebagian kecil saja. Dan yang paling tinggi nilainya adalah kitab Ath-Thabaqat Al-Kubra karya Ibnu Sa’ad.
Dan di antara para penyusun ada yang menulis berdasarkan negeri-negeri, seperti :
a.  Tarikh Naisabur, karya Imam Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisabury (wafat tahun 405 H), dia termasuk kitab yang hilang.
b.  Tarikh Baghdad, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-Khathib Al-Baghdadi (wafat tahun 463 H), dicetak, dan  dia termasuk kitab yang paling menonjol dan paling banyak manfaatnya.
c.  Tarikh Dimasyq, karya seorang ahli sejarah Ali bin Al-Husain yang dikenal dengan Ibnu ‘Asakir Ad-Dimasyqi (wafat tahun 571 H).

Ilmu Gharibil-Hadits

ILMU GHARIBIL-HADITS (1)
Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan menjelaskan satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan susah dipahami, karena jarang dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
Sejak dimulainya pembukuan (secara sistematis) hadits pada akhir abad kedua dan awal abad ketiga, para ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharibul-hadits. Orang yang pertama kali menyusun dalam masalah gharibul-hadits adalah Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin Al-Mutsanna At-Taimi (wafat tahun 210 H).
Buku-Buku yang Terkenal dalam Masalah Ini
1. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abul-Hasan An-Nadlr bin Syumail Al-Mazini (wafat 203 H), salah satu guru Ishaq bin Rahawaih, guru Imam Bukhari.
2. Kitab Gharibul-Atsar, karya Muhammad bin Al-Mustanir (wafat 206 H).
3. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam (wafat 224 H).
4. Kitab Al-Musytabah minal-Hadits wal-Qur’an, karya Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad-Dainuri (wafat 276 H).
5. Kitab Gharibul-Hadits, karya Qasim bin Tsabit bin Hazm Sirqisthi (wafat 302 H).
6. Kitab Gharibul-Hadits, karya Abu Bakar Muhammad bin Al-Qasim Al-Anbari (wafat 328 H).
7. Kitab Gharibul-Qur’an wal-Hadits, karya Abu ‘Ubaid Al-Harawi Ahmad bin Muhammad (wafat 401 H).
8. Kitab Smathuts-Tsurayya fii Ma’ani Ghariibil-Hadits, karya Abul-Qasim Isma’il bin Hasan bin At-Tazi Al-Baihaqi (wafat 402 H).
9. Kitab Majma’ Gharaaib fii Gharibil-Hadits, karya Abul-Hasan Abdul-Ghafir bin Isma’il bin Abdul-Ghafir Al-Farisi (wafat 529 H).
10. Kitab Al-Fa’iq fii Gharibil-Hadits, karya Abul-Qasim Jarullah Mahmud bin ‘Umar bin Muhammad Az-Zamakhsyari (wafat 538 H).
11. Kitab Al-Mughits fii Gharibil-Qur’an wal-Hadits, karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al-Madini Al-Asfahani (wafat 581 H).
12. Kitab An-Nihayah fii Gharibil-Hadits wal-Atsar, karya Imam Majdudin Abu Sa’adat Al-Mubarak bin Muhammad Al-Jazari Ibnul-Atsir (wafat 606 H).
ILMU GHARIBIL-HADITS (2)
Upaya baik para ulama dalam pembukuan dan penjelasan gharibul-hadits ini berakhir pada Ibnul-Atsir. Dalam menyusun buku, dia berpedoman pada kitab Gharibul-Qur’an wal-Hadits karya Al-Harawi dan kitab Al-Mughits fii Ghariibil-Qur’an wal-Hadits karya Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar Al-Madini.
Dan belum diketahui ada orang yang melakukan upaya penyusunan gharibul-hadits setelah ibnul-Atsir kecuali Ibnu Hajib (wafat 646 H). Setelah itu, upaya para ulama hanya sebatas pada memberi lampiran dan ikhtishar, atau meringkas terhadap kitan An-Nihayah.
Di antara ulama yang memberi lampiran pada kitab tersebut adalah Shafiyyuddin Mahmud bin Abi Bakar Al-Armawi (wafat 723 H). Dan diantara yang melakukan ikhtishar adalah : Syaikh Ali bin Husamuddin Al-Hindi, yang dikenal dengan nama Al-Muttaqi (wafat 975 H), ‘Isa bin Muhammad Ash-Shafawi (wafat 953 H) kira-kira mendekati setengah ukuran kitab, dan Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) yang mukhtasharnya dinamakan Ad-Durrun-Natsir Talkhis Nihayah Ibnul-Atsir.
Pada mulanya kitab Ad-Durrun-Natsir dicetak sebagai hamisy atau catatan pinggir pada kitab An-Nihayah. Namun kemudian As-Suyuthi mempunyai inisiatif untuk memisahkan tambahan terhadap kitab tersebut, dan diberi nama At-Tadzyil a’laa Nihayah Al-Gharib.
Kitab Nihayah juga disusun dalam bentuk syair oleh Imaduddin Abul-Fida’ Isma’il bin Muhammad Al-Ba’labaki Al-Hanbali (wafat 785 H) dengan nama Al-Kifayah fii Nudhum An-Nihayah.
Ibnul-Atsir telah mengatur kitabnya An-Nihayah berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, dan dicetak terakhir kalinya dengan diteliti dan diperiksa oleh Thahir Ahmad Az-Zawi danMahmud Muhammad Ath-Thanahi sebanyak lima jilid, dan diterbitkan oleh Pustaka Daar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah, ‘Isa Al-Babi Al-Halabi dan rekannya di Mesir.
Ibnul-Atsir menyusun kitabnya An-Nihayah berpedoman pada kitab Al-Harawi dan Abu Musa Al-Madini, yaitu dengan memberi tanda atau rumus (ha’ ) jika mengambil dari kitab Al-Harawi, dan tanda atau rumus huruf (sin) jika mengambil dari kitab Abu Musa. Adapun selain dari kedua kitab tersebut dibiarkan tanpa tanda apapun, untuk membedakan mana yang dari kedua kitab tersebut dan mana yang dari kitab yang lain.

Al-Muhkam dan Mukhtaliful-Hadits

Definis Al-Muhkam
Al-Muhkam menurut bahasa artinya yang dikokohkan, atau yang diteguhkan. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits adalah : “hadits yang diterima yang maknanya tidak bertentangan dengan hadits lain yang semisal dengannya”.
Kebanyakan hadits adalah termasuk jenis ini, sedangkan hadits yang bertentangan jumlahnya sedikit.
Definisi Mukhtaliful-Hadits
Mukhtalif artinya adalah yang bertentangan atau yang berselisih. Mukhtaliful-Hadits adalah hadits yang sampai kepada kita, namun saling bertentangan maknanya satu sama lain. Sedangkan definisi secara istilah adalah : “hadits yang diterima namun pada dhahirnya kelihatan bertentangan dengan hadits maqbul lainnya dalam maknanya, akan tetapi memungkinkan untuk dikompromikan antara keduanya”.

Apa yang Harus Dilakukan untuk Mendudukkan Dua Hadits Maqbul yang Mukhtalaf Ini ?
Para ulama menggunakan dua jalan :
1. Thariqatul-Jam’I, yaitu bila memungkinkan untuk menggabungkan dan mengkompromikan antara keduanya, maka keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.
2. Thariqatut-Tarjih, yaitu bila tidak memungkinkan untuk dikompromikan, maka :
a. Jika diketahui salah satunya nasikh dan yang lain mansukh, maka kita dahulukan yang nasikh lalu kita amalkan, dan kita tingalkan yang mansukh.
b. Jika tidak diketahui nasikh dan mansukhnya, maka kita cari mana yang lebih kuat di antara keduanya lalu kita amalkan, dan kita tinggalkan yang lemah.
c. Jika tidak memungkinkan untuk ditarjih, maka tidak boleh diamalkan keduanya sampai jelas dalil yang lebih kuat.

Pengertian2 Dasar
Rawi artinya yang meriwayatkan, dan yang menceritakan.
Sanad artinya rentetan, rantai, jalur orang-orang pembawa kabar (rawi) yang ada diantara imam pencatat hadits dengan pembawa kabar yang terakhir.
Dalam kitab2 hadits ringkasan yang banyak saat ini, biasanya hanya kita jumpai awal sanad (misalnya Imam Muslim) dan akhir sanad (misalnya Anas bin Malik).
Matan, yakni lafazh-lafazh yang terletak sesudah rawi dari akhir sanad.
‘Adl maksudnya muslim, yang baligh, berakal, tidak mengerjakan dosa2 dan selamat dari sesuatu yang mengurangi kesempurnaan dirinya (untuk bisa jadi rawi yang terpakai).
Dlabith maksudnya orang yang hafazh, baik karena hafal di dalam dirinya atau karena memiliki kitab yang ditulisi dgn haditsnya.
Syadz maksudnya keganjilan2. Sanad atau matan hadits tersebut diriwayatkan oleh rawi terpercaya namun isinya menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya darinya, atau menyalahi riwayat beberapa org yg sama2 terpercaya (nah ini kali ya gunanya pembahasan thabaqah2/ tingkatan2 rawi).
‘Illah: penyakit. Hadits yang zhahirnya terlihat baik sanad maupun matannya pdhal setelah diteliti tidak demikian.
REVIU HADITS
A. ULUMUL HADITS
1) Ilmu Hadits dan Ilmu Ushuli’l Hadits : Ilmu Hadits: Ilmu pengetahuan tentang sabda, perbuatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah Rasulullah SAW, beserta sanad-sanad dari ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihannya dan kedhaifannya dari pada lainnya, baik matan maupun sanadnya. Ilmu Ushuli’l Hadits : Suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana untuk mengenal kesahihan, kehasanan dan kedlaifan hadits, matan maupun sanad dan untuk membedkan dengan yang lainnya.
2) Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah : (1) Ilmu Hadits Riwayah : Ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang dan memindahkan atau mendewankan dalam suatu Dewan Hadits. Dalam menyampaikan dan mendewakan hadits, baik mengenai matan maupun sanadnya. Faedah mempelajari ilmu ini : adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Perintis pertama ilmu riwayah adalah Muhammad bin Syihab Az-Zuhry. (2) Ilmu Hadits Dirayah : disebut dengan ilmu Musthalahul Hadits – undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya. Obyek Ilmu Hadits Riwayah : meneliti kelakuan para rawi dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Menurut sebagian ulama, yang menjadi obyeknya ialah Rasulullah SAW sendiri dalam kedudukannya sebagai Rasul Allah. Faedahnya atau tujuan ilmu ini : untuk menetapkan maqbul (dapat diterima) atau mardudnya (tertolaknya) suatu hadits dan selanjutnya untuk diamalkannya yang maqbul dan ditinggalnya yang mardud.
3) Cabang-Cabang Ilmu Musthalahul Hadits : (1) Cabang yang berpangkal pada sanad antara lain : (a) Ilmu rijali’l hadits, (b) Ilmu thabaqati’r ruwah, (c) Ilmu tarikh rijali’l hadits, (d) Ilmu jarh wa ta’dil. (2) Cabang-cabang berpangkal pada matan, antara lain : (a) Ilmu gharibi’l hadits, (b) Ilmu asbabi’l mutun, (c) Ilmu tawarikhi’l hadits, (d) Ilmu talfiqi’l hadits. (3) Cabang-cabang yang berpangkal pada sanad dan matan, ialah : Ilmu ilali’l hadits.
4) Priode Periwayatan dengan Lisan : (a) Larangan Menulis Hadits : Nabi sendiri melarang untuk menuliskan sabdanya “Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an hendaklah dihapus”. Maka hadits diterima dengan hafalan. (b) Perintah menulis Hadits : di samping Rasulullah melarang menulis Hadits, beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat tertentu, untuk menulis hadits. Misalnya Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, menerangkan bahwa sesaat Fathu Makkah Nabi berpidato dihadapan umat Islam, tiba-tiba seorang laki-laki dari Yaman Abu Syah bertanya kepada Rasulullah :
“Ya Rasulullah! Tulislah untukku!, Jawab Rasul tulis kamulah sekalian untuknya”. (c) Sistem meriwayatkan Hadits: dengan lafadh yang masih asli dari Rasulullah SAW. Dengan makna saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka tidak ingat betul pada lafadh aslinya, karena mereka hanya mementingkan segi isinya yang benar-benar dibutuhkan pada saat itu.
5) Periode Pembukuan Hadits abad ke-2 (A) Motif Membukukan Hadits : pada zaman khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz – Bani Umayyah antara th. 99 H – 101 H :
(1) Kemauan beliau untuk tidak membiarkan Hadits seperti waktu yang lalu. Karena ada kekhawatiran akan hilang Hadits dari perbendaharaan masyarakat, sebab belum didewankannya dalam Dewan Hadits. (2) Untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari Hadits-hadits maudlu’ (palsu) yang dibuat orang-orang untuk mempertahankan ideologi golongan dan mazhab. (3) Hadits belum terdewankan secara resmi di zaman Rasulullah SAW dan Khulafau’r Rasyidin, karena ada kekhawatiran bercampur dengan al-Qur’an, telah hilang, karena al-Qur’an telah dikumpulkan dalam satu mushaf dan telah merata diseluruh umat Islam. (4) Ada kekhawatiran akan hilangnya hadits karena banyak ulama Hadits yang gugur dalam medan perang, dan bercampur dengan hadits palsu. (B) Ciri-ciri Kitab Hadits yang didewankan pada abad kedua : Karya ulama abad kedua masih bercampur aduk antara hadits-hadits Rasulullah dengan fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Kitab hadits belum dipisahkan antara hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan maqthu, dan antara hadits yang shahih, hasan dan dla’if. (C) Kitab Hadits yang masyhur : (1) al-Muwaththa – Imam Malik pada 144 H – atas anjuran khalifah al-Mansur. Jumlah hadits yang terkandung dalam kitab ini lebih kurang 1.720 buah. (2) Musnadu’sy Syafi’i – Imam Asy Syafi’i – mencantumkan seluruh hadits – “al-Umm”. (3) Mukhtalifu’l Hadits – karya Imam Syafi’i – menjelaskan cara-cara menerima hadits sebagai hujjah, menjelaskan cara-cara mengkompromikan hadits-hadits yang kontradiksi satu sama lain.
B. ASBABUL WURUD
1. Secara garis besar ilmu hadits dibagi menjadi dua yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits diroyah. Asbabul wurud merupakan cabang dari ilmu hadits riwayah.
2. Asbabul Wurud : ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menuturkan itu.
3. Pembagian Asbabul Wurud : ada hadits yang mempunyai sebab disabdakan dan ada hadits yang tidak mempunyai sebab-sebab disabdakan. (1) Hadits yang mempunyai sebab disebutkan dalam hadits itu sendiri. Misalnya hadits yang timbul karena pertanyaan Jibril kepada Nabi SAW tentang pengertian Islam, Iman, dan Ihsan. (2) Hadits yang sebab tidak disebutkan dalam hadits tersebut tetapi disebutkan pada jalan (thuruq) hadits yang lain, misalnya : hadits yang menerangkan shalat yang paling utama bagi wanita adalah di rumah kecuali shalat fardhu.
4. Asbabul Wurud ditentukan oleh beberapa hal : (1) Ada ayat al-Qur’an yang perlu diterjemahkan Rasulullah. Fungsi hadits sebagai Tafsirul Qur’an bis Sunnah). (2) Ada matan hadits yang masih perlu dijelaskan oleh Rasulullah. Hadits yang dijelaskan itu merupakan sababul wurud dari hadits berikutnya. (3) Ada peristiwa yang timbul yang perlu dijelaskan oleh Rasulullah. (4) Ada masalah atau pertanyaan dari para sahabat. Ulama yang mula-mula menyusun kitab mengenai asbabul wurud adalah Abu Hafsah al-’Akbari (380-456 H). As-Suyuthi – karyanya berjudul “al-Muma’ fi Asb al-Hadits” 5. Urgensi Asbabul Wurud : dapat membantu atau menolong dalam memahami hadits secara benar. Jika hadits tidak diketahui asbabul wurudnya, akan mengaburkan pemikiran seseorang dalam memahamai hadits, bahkan bisa salah sama sekali. Misalnya sebuah hadits yang berbunyi :
“Barang siapa menyerupai kaum maka termasuk golongan mereka”
Menurut Muh.Zuhri, hadits ini pernah dipahami, karena penjajah orang kafir itu bercelana panjang dan berdasi, maka orang Islam yang berpakaian semacam itu termasuk kafir, berdasarkan hadits tersebut.
HADITS PADA MASA SAHABAT
1. Sahabat adalah orang yang bertemu dan hidup bersama Rasul minimal setahun lamanya ( Ahli Ususl), Jumhur Muhadditsin – sahabat orang yang bertemu dengan Rasul dengan pertemuan yang wajar sewaktu rasul masih hidup, dalam keadaan Islam lagi iman, Al-Jahidh ulama beraliran Mu’tazilah – sahabat orang yang pernah bergaul dengan dan meriwayatkan hadits dari padanya, Ulama Ushul – sahabat orang yang berjumpa dengan Rasul, lama pula bersahabat dengan beliau, walaupun tidak meriwayatkan hadits, Loght dan ‘Uruf – sahabat mereka yang sungguh-sungguh menyertai Nabi, seduduk, sejalan dengan Nabi dalam sebagian waktu.
2. Ada duabelas Thabaqot : (1) mereka yang lebih dulu masuk Islam, yaitu orang yang lebih dulu beriman di Makkah, (2) Anggota Dar an-Nadwah yang memeluk Islam sesudah Umar masuk Islam, (3) para sahabat yang hijrah ke habasyah pada tahun k5-5 sesudah Rasulullah diutus, (4) pengikut perjanjian ‘aqobah pertama, (5) pengikut perjanjian aqobah kedua yang memeluk Islam sesudah aqobah pertama, (6) sahabat muhajirin yang sampai di Madinah, ketika Nabi masih berada di Quba, menjelang memasuki Madinah, (7) pengikut perang badar, (8) para sahabat yang hijrah di antara peristiwa perang badar dan Hudaibiyah, (9) para sahabat yang melakukan bai’at di bawah pohon di Hudaibiyah, (10) para sahabat yang hijrah sebelum penaklukan Makkah dan sesudah peristiwa Hudaibiyah, (11) para sahabat yang memeluk Islam pada saat penaklukan Makkah, (12) anak-anak yang melihat Nabi pada hari penaklukan Makkah dan Haji Wada’.
3. Cara meriwayatkan hadits : (1) Periwayatan Lafzi – redaksinya – matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Bisa dilakukan apabila mereka (sahabat) hafal benar apa yang disabdakan Rasul. Para sahabat meriwayatkan hadits melalui cara ini, mereka berusaha agar dalam meriwayatkan hadits sesuai dengan redaksi Rasul, bukan redaksi dari mereka. (2) Periwayatan Maknawi : sahabat berpendapat dalam keadaan darurat, karena tidak ada lafal asli dari Rasul, maka boleh meriwayatkan dengan maknawi. Artinya periwayatan hadits yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi atau makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar

Prev Prev home

aku berada didalam kejahatan yg tak punya malu.. ingin merasakan rasanya sensasi yg baru.. godaan yg membuatku senang..


dilarang merokok,,blog ini ber~AC...!!!
boland capzlock

Diberdayakan oleh Blogger.
RUANG MANAJEMEN SUDUT PANDANG © design Template 2011 by:
boland capzlock
blogwalking.. Selamat datang di blog saya.